GARUT | N-24JAM – Incumbent atau Petahana, nama atau istilah ini kerap disematkan kepada pejabat yang sedang menjabat yang kemudian mencalonkan kembali untuk masa periode berikutnya. Kata ini biasanya disematkan kepada calon pejabat tinggi negara ekskutif dan legislatif, pejabat daerah seperti gubernur, bupati, walikota hingga kepala desa.
Sebutkan istilah incumbent atau petahana ini memang sudah familiar disematkan kepada pejabat yang kembali maju dalam kontestasi politik. Terlepas mereka sedang menjabat atau belum habis jabatan dan cuti saat pencalonan dan atau pejabat yang telah habis masa jabatan lalu kemudian ikut kembali dalam kontestasi politik di periode berikutnya.
Ada dua sisi pandangan yang kerap menjadi issu politik bagi calon yang disebut incumbent jika kembali maju dalam pertarungan politik. Pertama, dalam sisi kampanye sosialisasi, calon incumbent akan lebih cepat dikenal masyarakat pemilih karena sebelumnya sudah bekerja untuk masyarakat. Meski ada pemilih baru yang belum mengenali, namun tidak signifikan. Beda dengan calon yang baru, harus ekstra kerja keras untuk mengangkat elektabilitas dan popularitas ke publik.
Kedua, calon incumbent sudah memiliki tim atau jaringan penggerak yang punya pengalaman pada saat kampanye sebelumnya, apalagi jaringan ini terpelihara dengan baik hingga habis masa jabatannya. Sementara untuk calon baru, harus membentuk tim atau jaringan yang baru.
Meskipun orang yang dibentuk adalah orang yang sudah punya pengalaman dan skill mumpuni, namun perlu adaptasi dan chemistry antara calon dan tim, juga sesama tim. Apalagi tim yang dibentuk berangkat dari wadah partai politik yang kadang berbeda visi misi dan azas.
Dalam masa kampanye, incumbent tak sedikit menjadi bulan-bulanan issu atau bisa juga dikatakan black campaign oleh lawan politik. Lawan politik akan memanfaatkan kekurangan incumbent pada saat menjabat, untuk membangun opini publik mosi tidak percaya kepada incumbent. Meskipun banyak kelebihan dan prestasi kinerja yang telah didapat oleh incumbent pada saat menjabat.
Sekecil apapun kekurangan incumbent saat menjabat akan dikorek-korek pihak lawan politik, bahkan inginnya masyarakat tidak kembali memilih incumbent untuk periode berikutnya. Dalih pembaharuan agar lebih baik kerap digaungkan, padahal mereka pun sebenarnya belum tahu kinerja calon baru akan seperti apa kemudian, karena memang yang baru belum mengerjakan apa-apa di pemerintahan.
Tim sukses calon baru akan terus membangun opini untuk menjatuhkan reputasi atau elektabilitas incumbent, mulai dari prestasi kerja, issu asal-usul dan bahkan bisa sampai issu sara. Padahal faktanya calon incumbent telah memiliki dan melakukan ide dan gagasan serta realisasi program di masa jabatan sebelumnya. Sementara untuk calon baru, mereka baru punya ide dan gagasan dan belum melakukan apa-apa.
Ada pepatah mengatakan, seribu teori akan kalah dengan satu tindakan nyata. Artinya, setumpuk atau ribuan ide dan gagasan program pembangunan dari calon baru, belum bernilai apa-apa dibandingkan dengan satu kali program pembangunan yang telah dibuat oleh incumbent.
Semua berdalih, nanti kembali kepada hati nurani rakyat yang akan memilih, mana yang terbaik untuk pemimpinnya. Namun tetap narasi harus dibangun yang kemudian muncul sentimen positif dan negatif, baik kepada calon incumbent maupun calon baru. Warga pemilih tidak akan serta memberikan pilihan tanpa ada referensi dari para tim selaku penggerak.
Disinilah fungsi kinerja tim sukses calon, bagaimana mereka menggerakan suara masyarakat pemilih agar memberikan pilihan kepada calon yang dijagokannya. Para penggerak akan menggiring para pemilih untuk menentukan pilihannya. Tim incumbent menggiring dengan membangun opini capaian kerja jabatan sebelumnya, tim lawan membangun opini kekurangan incumbent di jabatan sebelumnya.
Namun sejatinya capaian yang sudah dirasakan masyarakat harus dipelihara dan dipertahankan dan kekurangan yang belum terlaksana harus dilanjutkan dan diselesaikan. Mari memilih di Pilkada Serentak di hari Rabu tanggal 27 Nopember 2024. (Red)